Dua Miliar alasan: Indonesia Dapat Melampaui Target Nol-Bersih
Oleh Seb Kennedy, Abhishek Shivakumar, dan Joo Yeow Lee
Menutup PLTU jelas mendatangkan keuntungan bagi Indonesia, baik dari sisi penghematan biaya maupun emisi. Caranya, dengan mempercepat dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan, mempensiunkan dini PLTU yang paling tidak menguntungkan, dan aset-aset pembangkit berkinerja buruk. Hal ini terungkap dalam model sistem Future Energy Outlook (FEO) yang dilakukan TransitionZero.
Mengurangi emisi berarti menghemat biaya untuk sistem energi: Indonesia bisa menghemat biaya jika dana JETP diprioritaskan untuk pensiun dini PLTU
Lebih dari 21 GW PLTU dapat segera dipensiunkan tanpa mengganggu biaya sistem dan keandalan jaringan listrik.
Pensiun dini PLTU dapat menghemat USD 2 miliar dan menghindari 1,3 giga ton CO2—setara dengan peningkatan 0,15% PDB Indonesia dan sekaligus penghentian emisi industri perkapalan global selama dua tahun.
Dibandingkan dengan langkah-langkah dalam skenario bisnis seperti biasa (business as usual), Indonesia bisa hemat USD 2 untuk setiap ton CO2 yang dapat dihindari.
Pembangkit listrik tenaga surya mendominasi bauran energi Indonesia mulai tahun 2040 dalam semua skenario yang dimodelkan oleh FEO, terlepas dari target emisinya
FEO memberikan kemampuan pemodelan sistem yang tak tertandingi kepada para pengambil keputusan dalam sektor energi di Indonesia pada momen penting dalam pengembangan JETP di Indonesia
Indonesia dapat melampaui pencapaian target nol-bersih (net-zero) dengan mempercepat penghentian PLTU yang sudah tidak menguntungkan. Hal ini membuat biaya yang dibutuhkan untuk sistem energi Indonesia menjadi lebih murah dibandingkan kebijakan saat ini, dan sekaligus menurunkan emisi lebih cepat dibandingkan hanya mengandalkan target yang dibuat pemerintah tahun 2060.
Temuan-temuan pentingtersebut terdapat dalam aplikasi pertama dari model sistem energi yang terbuka untuk umum (open source) dari TransitionZero bernama Future Energy Outlook (FEO). FEO adalah model sistem sumber terbuka (open source) dengan resolusi tertinggi yang pernah tersedia untuk umum bagi pasar Indonesia, dengan simpul[y1] atau nodeyang mewakili 34 provinsi di kepulauan Indonesia dan ditopang oleh data yang melimpah. [1]
TransitionZero sebelumnya menghitung kebutuhan biaya sebesar USD37 miliar untuk melepas (buy out) atau menegosiasikan kembali perjanjian jual beli tenaga listrik (power purchase agreement/PPA) yang mendanai aset batu bara di Indonesia (lihat Mendanai penghapusan batu bara di Indonesia: Alat Transisi Aset Batu Bara). Saat Just Energy Transition Partnership (JETP) yang bernilai USD20 miliar diresmikan pada KTT G20 di Bali, analisis TransitionZero mengungkapkan bahwa anggaran itu dapat memensiunkan lebih dari setengah (21,7 GW) kapasitas PLTU batu bara di Indonesia hingga 10 tahun lebih cepat dengan cara menargetkan pembangkit-pembangkit listrik yang paling tidak menguntungkan terlebih dahulu (lihat Teka-teki penghentian penggunaan batu bara di Indonesia).
Pertanyaan yang muncul dari analisis tersebut adalah: Cara mana yang paling hemat biaya untuk mengganti kapasitas batu bara yang hilang sekaligus memastikan cadangan daya tetap memadai? Bagaimana dampak intervensi ini terhadap biaya pengoperasian sistem? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, diperlukan model sistem beresolusi tinggi: FEO. Temuan dari model FEO pertama yang dijalankan adalah bahasan utama dari blog ini.
Melakukan Persiapan
FEO menghitung bauran pembangkit dengan biaya terendah di sistem ketenagalistrikan Indonesia yang banyak memakai batu bara dengan menggunakan berbagai asumsi dan batasan. Model ini mengoptimalkan penambahan dan pengiriman (dispatch) kapasitas pada setiap simpul jaringan untuk meminimalkan biaya operasi sistem setiap tahun hingga 2050. Model ini juga mengoptimalkan interkoneksi antar simpul dan menambah kapasitas transmisi sesuai kebutuhan. Skenario-skenario berikut digunakan dalam pemodelan pertama FEO:
Skenario Penghentian Dini Penggunaan Batu Bara menurunkan kapasitas batu bara sebesar 21,7 GW hingga 10 tahun lebih cepat. Pembangkit listrik bertenaga batu bara atau PLTU diberi peringkat berdasarkan profitabilitas jangka panjang dengan menggunakan data tingkat aset dari perangkat Transisi Aset Batu Bara (Coal Asset Transition/CAT) milik TransitionZero. Hal ini merupakan salah satu dari lima skenario penghentian dini penggunaan batu bara yang dieksplorasi dalam analisis sebelumnya, yang menyimpulkan bahwa menutup aset-aset yang paling tidak menguntungkan terlebih dahulu akan menghasilkan ‘ledakan’ penurunan kapasitas terbesar dari JETP senilai USD20 miliar di Indonesia. (Baca lebih lanjut di Teka-teki penghentian penggunaan batu bara di Indonesia). [2]
Dibayar untuk Mengurangi Karbon
Kesimpulan yang paling terlihat dalam analisis ini adalah Penghentian Dini Penggunaan Batu Bara merupakan langkah yang saling menguntungkan untuk berbagai pihak: mengurangi emisi berarti menghemat biaya sistem energi. Dibandingkan dengan skenario Kebijakan Saat Ini, skenario Penghentian Dini Penggunaan Batu Bara (Early Coal Retirement) dapat menghindari 1,3 gigaton CO2 dan menghemat USD 2 miliar dalam prosesnya. Jumlah ini setara dengan penghentian emisi industri pelayaran global selama dua tahun dan meningkatkan PDB Indonesia sebesar 0,15%. Dengan kata lain, Indonesia dapat menghemat USD2 untuk setiap ton CO2 yang dihindari jika modal JETP dialokasikan secara efektif.
Angka ini dihitung menggunakan metode: Di bawah skenario Kebijakan Saat Ini, total biaya untuk mengoperasikan sistem tenaga listrik saat ini hingga 2050 mencapai USD 1,004 triliun. Total emisi dari pembangkit listrik selama periode tersebut adalah sedikit di bawah 8.105 juta ton CO2 (mtCO2).
Dengan menggunakan data tersebut sebagai dasar, FEO mengungkapkan bahwa percepatan penutupan PLTU batu bara akan menghasilkan penghematan emisi yang signifikan dengan sedikit atau tanpa biaya tambahan. Total biaya sistem dari skenario penghentian batu bara dini sedikit lebih tinggi dari skenario Kebijakan Saat Ini, yaitu USD1,022 triliun, namun emisinya seperlima lebih rendah, yaitu 6.970 mtCO2. Hal ini setara dengan biaya pengurangan USD16 per ton CO2 yang dapat dihindari.
Angka pengurangan ini mungkin terlihat rendah dibanding negara-negara seperti Uni Eropa, yang harga karbonnya saat ini mencapai €87 per ton. Namun, angka ini jauh lebih besar dari yang diharapkan dapat diserap oleh sistem energi Indonesia. Pemerintah telah mengumumkan mekanisme perdagangan karbon pada bulan Februari 2023 dengan menetapkan harga CO2 antara USD2 dan USD18 per ton. Secara terpisah, pemerintah memperkirakan tingkat pajak karbon yang akan datang Rp30.000/ton (USD2/ton), dan pajak ini hanya dikenakan pada emisi marjinal di atas dan di luar tingkat dasar.
Kabar baiknya, angka ini belum mewakili keseluruhan cerita. Angka pengurangan sebesar USD16/tCO2 menunjukkan biaya perluasan dan pengoperasian sistem tenaga listrik (investasi modal, biaya bahan bakar, biaya operasional, dan lain-lain) tanpa 21,7 GW kapasitas PLTU yang telah dihentikan operasinya, ditambah dengan biaya untuk melepaskan (buy out) power purchase agreements (PPA) dari PLTU yang berkinerja buruk. Laporan ini mengasumsikan bahwa biaya pelepasan (buy out) PPA ditanggung sepenuhnya oleh sistem dan ditagihkan pada konsumen.
Kemungkinan besar biaya pelepasan (buy out) PPA akan ditanggung sebagian oleh JETP, yang memang dibentuk untuk tujuan ini. Jika kita mengasumsikan biaya pelepasan sebesar USD20 miliar ditanggung seluruhnya oleh JETP dan dengan demikian dihilangkan dari biaya sistem di bawah skenario Penghentian Dini Penggunaan Batu Bara, maka biaya pengurangan akan berubah secara drastis.
Total emisi sistem tidak berubah yaitu sebesar 6.970 mtCO2 dan biaya sistem berkurang sebesar USD20 miliar menjadi USD1,002 triliun. Angka ini setara dengan biaya pengurangan negatif -USD2 per ton CO2 yang dihindari, yang berarti Indonesia bisa mengurangi emisi dan menghemat biaya dalam prosesnya.
Temuan ini menggambarkan dampak alokasi JETP terhadap biaya dekarbonisasi. Untuk mewujudkannya, donor dan pemodal internasional perlu menawarkan pinjaman lunak dan hibah melalui JETP dan mengarahkan dana ini sepenuhnya untuk penghentian dini penggunaan batu bara.
Kedua hal ini bukanlah kesimpulan final. Gagasan bahwa bank-bank dan lembaga keuangan internasional akan menanggung biaya pembelian PPA adalah pemikiran yang masuk akal mengingat tujuan JETP yang sudah disebutkan. Namun, kerangka kerja JETP memiliki cakupan yang luas, dan terdapat diskusi yang belum usai mengenai penggunaan pinjaman komersial untuk mendanai kegiatan JETP. Pemerintah akan berusaha meminimalkan kewajiban suku bunga dan memaksimalkan porsi dana yang berasal dari hibah.
Melampaui Target Nol-Bersih
Model FEO yang dijalankan menunjukkan pentingnya penggabungan tujuan penutupan PLTU dengan target emisi. Dalam skenario Penghentian Dini Penggunaan Batu Bara, emisi sektor listrik turun dengan cepat dalam lima tahun pertama ketika kapasitas sebesar 21,7 GW mulai tidak beroperasi, lebih cepat dibanding skenario Nol Bersih 2060. Penghematan emisi dari penutupan PLTU mencapai puncaknya pada 26 mtCO2 di bawah nol bersih pada 2027. Secara kumulatif selama periode 2023-2028, Penghentian Dini Penggunaan Batu Bara dapat menghemat 87 mtCO2 lebih banyak dibanding mengoptimalkan sektor ketenagalistrikan Indonesia untuk mencapai nol bersih pada 2060.
Alasan utamanya adalah komitmen batu bara Indonesia yang sudah ada. Saat ini, terdapat 13 GW PLTU batu bara baru yang sedang dibangun di Indonesia, dan FEO mengasumsikan bahwa semua PLTU ini akan tetap dibangun dalam skenario apapun. Perbedaan dalam Penghentian Dini Penggunaan Batu Bara adalah bahwa penutupan PLTU melebihi penambahan batu bara yang direncanakan selama lima tahun pertama. Skenario ini tidak menyertakan batasan pengurangan emisi sehingga kapasitas batu bara yang dibangun pada periode 2028-2030 masih dapat digunakan untuk pembangkit listrik hingga 2050 untuk melengkapi penggunaan tenaga surya yang semakin murah.
Tidak satu pun dari skenario ini yang mengizinkan penggunaan batu bara baru di sektor ketenagalistrikan dari tahun 2030 dan seterusnya. Selain itu, dalam skenario Nol-Bersih (Net-Zero) 2060, tidak ada insentif untuk membangun lebih banyak pembangkit batu bara sebelum tahun 2030 di luar 13 GW yang sudah tertera dalam rencana karena adanya batasan emisi yang mencegah penggunaannya. Oleh karena itu, model ini mengoptimalkan peningkatan kapasitas yang sesuai dengan tujuan tersebut. [3]
Keterbatasan Dana, Keuntungan yang Disia-siakan
Sejauh ini, FEO telah mengungkapkan bahwa Indonesia dapat mencapai target nol bersih lebih dini dengan menggunakan dana JETP untuk mempercepat penutupan PLTU sebelum 2030. Namun, model ini juga mengungkapkan kelemahan dari mengandalkan JETP untuk melakukan semua pekerjaan berat dalam pengurangan emisi.
Jika hanya mengandalkan dana JETP, keberhasilan Indonesia mencuri start dalam memangkas emisi bisa menjadi sia-sia, mengingat dana sebesar US$ 20 miliar tidak bisa membiayai semuanya. Penghematan biaya dari pencapaian "lebih dari nol bersih" -yakni Indonesia bisa mengurangi emisi sekaligus menghemat biaya- dalam skenario Pensiun Dini PLTU akan menghilang dengan cepat setelah anggaran JETP habis pada 2028, dengan alasan seperti yang sudah disebutkan.
Anggaran yang lebih besar untuk pembelian PPA PLTU akan berpotensi untuk memperbanyak kapasitas pembangkit yang dapat dipensiunkan lebih dini dan mencegah Indonesia untuk kembali ke peningkatan neto batu bara setelah dana penghentian dini dihabiskan. Hal ini menggarisbawahi perlunya negara-negara donor untuk tidak hanya memenuhi janji-janji pendanaan iklim yang sudah ada, tetapi juga melangkah lebih jauh dengan komitmen yang lebih besar.
Saat ini, dengan kurangnya komitmen pendanaan dari negara-negara kaya, pencapaian kesepakatan atas janji-janji JETP yang sudah ada saja sudah cukup sulit, apalagi untuk menegosiasikan paket yang lebih besar. Terdapat berbagai prioritas dan yurisdiksi yang saling bersaing untuk mendapatkan bagian dari pendanaan iklim yang terbatas. Hal ini perlu diubah.
Kesimpulan utama yang dapat ditarik di sini adalah bahwa Indonesia membutuhkan rencana transisi energi menyeluruh yang lebih berani dan ambisius yang ditargetkan mengarah pada pensiun dini batu bara, dana JETP yang lebih besar dari para donor tanpa persyaratan pembayaran yang berat dan komitmen nyata untuk target nol bersih 2060. Secara khusus, setiap target emisi jangka panjang harus ditopang oleh target-target pencapaian anggaran karbon sementara [y1] untuk meningkatkan akuntabilitas target jangka pendek dan untuk memastikan sektor ketenagalistrikan tetap berada di jalur yang seharusnya.
Harga yang harus dibayar jika tetap menggunakan batu bara
Terlepas dari emisi, terdapat berbagai alasan positif bagi Indonesia untuk mengoptimalkan jaringan listriknya terkait percepatan penutupan PLTU.. Pemerintah saat ini menanggung biaya yang dibutuhkan untuk menjaga kelebihan cadangan kapasitas dari pembangkit-pembangkit di seluruh jaringan ketenagalistrikan nusantara, walaupun hanya digunakan sesekali.
Pembayaran kapasitas ini diberikan kepada pembangkit listrik swasta atau IPP untuk menutupi biaya tetap (fixed costs) mereka dan mencegah agar tidak perlu mematikan pembangkit listrik, meskipun cadangan daya yang sangat tinggi mengindikasikan bahwa ketersediaan aset-aset tersebut lebih besar daripada kebutuhan yang ada.
Cadangan daya mengukur jumlah kapasitas cadangan yang tersedia di atas permintaan puncak, dan merupakan proksi untuk menghitung kelebihan kapasitas. Cadangan daya rata-rata di lima jaringan listrik utama di Indonesia adalah 49%. Di Jawa-Bali, provinsi dengan jumlah penduduk terbesar dan terpadat di Indonesia, cadangan daya hampir mencapai 60%.
Masalah ini merupakan permasalahan akut pada jaringan subregional Jawa-Bali di Banten, di mana cadangannya daya dapat mencapai 127% lebih tinggi dari permintaan puncak. Banten merupakan rumah bagi PLTU dengan kapasitas 8,8 GW dengan 7,3 GW di antaranya akan diprioritaskan untuk ditutup lebih awal berdasarkan skenario Penghentian Dini Penggunaan Batu Bara. FEO dikonfigurasikan untuk mengurangi cadangan menjadi 35% di tahun 2030 untuk mengurangi kelebihan kapasitas dan meningkatkan efisiensi sistem, serta memastikan margin pembangkitan yang aman untuk memenuhi permintaan puncak di semua skenario.
Perpindahan ke tenaga surya
Bauran energi Indonesia akan mengalami transformasi radikal seiring dengan menurunnya kapasitas PLTU . Indonesia sangat lambat dalam pemanfaatan tenaga surya, tetapi hal ini akan berubah bila dapat memilih jalur yang dioptimalkan untuk sistem energinya.
Seiring dengan turunnya biaya tenaga surya, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) mulai mendominasi bauran pembangkit di Indonesia setelah 2030 dalam semua skenario yang dimodelkan FEO. PLTS skala utilitas mengambil alih kapasitas PLTU tahun 2040, yang pada awalnya didukung oleh peningkatan kapasitas gas dan nuklir. Penyimpanan baterai tidak memiliki peran yang signifikan hingga 2040-an, ketika biaya turun di bawah biaya marjinal dari cadangan yang dapat dikirim.[4]
Kapasitas tenaga surya tahun 2030 berkisar antara 15 GW (dalam Kebijakan Saat Ini hingga 21 GW (dalam Nol-Bersih tahun 2060). Hal ini kemudian meningkat 10 kali lipat dalam 20 tahun untuk mencapai antara 170 GW (dalam Biaya Paling Rendah) dan 210 GW (dalam Nol-Bersih tahun 2060) pada 2050. Ini merupakan peningkatan yang sangat pesat dari angka kapasitas PLTS terpasang saat ini sebesar 170 MW.
PLTS melebihi PLTU di semua skenario, termasuk Biaya Terendah—sebuah skenario yang secara teoritis tidak dibatasi dan dioptimalkan hanya berdasarkan biaya sistem, yang memungkinkan PLTU baru untuk dibangun setelah tahun 2030 tanpa memedulikan dampak emisinya. Pada 2050, pembangkit listrik tenaga surya akan melebihi batu bara sebesar 23% di bawah Biaya Terendah, dan lebih dari 10 kali lipat di bawah Nol-Bersih tahun 2060.
Tenaga nuklir mulai masuk ke dalam bauran energi mulai tahun 2040 di semua skenario FEO, kecuali untuk Biaya Terendah (tanpa batasan). Pada 2050, Indonesia akan memiliki antara 12 GW dan 21 GW reaktor yang beroperasi untuk menyediakan antara 705 GWh dan 1.247 GWh per tahun (7% hingga 12% dari total produksi listrik).
Hanya ada sedikit perbedaan dalam bauran energi 2050 pada setiap skenario yang dimodelkan oleh FEO. Dalam semua kasus, Indonesia menggunakan tenaga surya sebagai sumber listrik yang paling murah, didukung oleh sejumlah besar Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (combined cycle gas turbine/CCGT).
Lokasi, lokasi, dan lokasi
Daya saing biaya yang tak tertandingi dari tenaga surya menjamin peran sentral dalam bauran energi, terlepas dari target emisinya. Satu-satunya pertanyaan yang perlu dijawab adalah seberapa besar tenaga surya akan mendominasi bauran energi Indonesia dan di mana harus dipasang.
Resolusi spasial FEO yang tinggi memberi beberapa wawasan mengenai lokasi-lokasi tempat kapasitas pembangkit listrik tenaga surya akan menjadi teknologi yang paling efektif dari segi biaya. Batu bara saat ini merupakan sumber daya termurah di sebagian besar titik di jaringan dengan pemanfaatan pembangkit listrik sekitar 70-80%. Jika pembangkit listrik batu bara digunakan kurang dari ini di beberapa lokasi spesifik, energi surya sudah menjadi teknologi yang paling kompetitif dari segi biaya.
Pengurangan biaya yang harus diantisipasi akan membuat kapasitas PLTS di lokasi dengan tingkat radiasi matahari tertinggi mulai melemahkan kapasitas PLTU, bahkan di lokasi di mana PLTU merupakan teknologi yang paling banyak digunakan, sejak pertengahan tahun 2030 dan seterusnya. Model FEO mengantisipasi hal ini dan menggunakan sebagian besar kapasitas PLTS baru pada titik-titik ini terlebih dahulu.
Temuan-temuan ini bersifat konservatif karena model mengasumsikan bahwa Indonesia akan terus mensubsidi penggunaan batu bara.
Mengoptimalkan Debat terkait JETP
Indonesia merupakan pasar tenaga listrik yang intensif karbon dan sarat dengan inefisiensi pada tingkat sistem yang membuatnya siap untuk dioptimalkan. FEO mengungkapkan sejauh mana penghematan biaya dan emisi yang dapat dilakukan oleh para pembuat kebijakan dan regulator jika mereka memilih untuk mendesain ulang bauran energi berdasarkan prinsip-prinsip dekarbonisasi dengan biaya terendah. Manfaat finansial dari penghentian dini penggunaan batu bara memberikan alasan kuat untuk mengalokasikan modal ke dalam pembelian PPA yang ditargetkan sebagai opsi jangka pendek yang tidak akan mengecewakan, saat persyaratan pembiayaan dekarbonisasi jangka panjang sedang disempurnakan.
Penerapan FEO yang pertama ini merupakan kontribusi penting bagi perdebatan seputar batu bara di Indonesia. Ketersediaan pemodelan sistem tenaga listrik dengan resolusi spasial dan temporal yang tak tertandingi dari FEO, dikombinasikan dengan granularitas data yang belum pernah ada sebelumnya, menandai pergeseran paradigmatis dalam basis pengetahuan yang tersedia bagi para pengambil keputusan di saat yang penting bagi negara ini. Sekretariat JETP telah membentuk kelompok kerja yang perlu menyelesaikan peta jalan untuk penghentian penggunaan batu bara lebih awal dan rencana investasi komprehensif (CIP) pada bulan Agustus tahun ini.
FEO memungkinkan pengguna untuk mereproduksi analisis skenario yang dilakukan di dalamnya dan mengubah asumsi sesuai kebutuhan. Analisis tingkat sistem yang dihasilkan FEO akan dapat memantik diskusi kebijakan publik yang bergerak lebih dari dimensi perbandingan sumber daya berdasarkan biaya penyediaan energi rata-rata (levelised cost of energy/LCOE). Meskipun LCOE dapat menjadi metrik yang berguna dalam pemodelan keuangan, nilainya untuk keputusan perencanaan energi sangat terbatas jika tidak disertai dengan pemahaman mengenai dampak jangka panjangnya dalam tingkat sistem.
Dimensi ini, yang dapat dieksplorasi secara lebih mendalam oleh FEO bila dibandingkan dengan pemodelan sistem tenaga listrik yang tersedia untuk umum lainnya, akan menjadi metrik yang penting bagi pengambil keputusan dan pemangku kebijakan yang mempertimbangkan reorientasi jaringan listrik secara keseluruhan di lingkup sumber tenaga listrik dengan biaya marjinal nol yang bersifat intermiten. Fakta bahwa tenaga surya muncul sebagai sumber tenaga listrik yang dominan tanpa merusak keandalan jaringan listrik terlepas dari kriteria emisi harus diperhatikan dalam konteks ini.
Selain itu, hal ini hanyalah permulaan. Analisis berbasis FEO lebih lanjut akan tersedia pada peran interkonesi yang memungkinkan transisi dapat menghemat biaya dari batu bara di seluruh kepulauan Indonesia.
TransitionZero sedang memperluas FEO untuk mencakup jaringan listrik ASEAN untuk mengeksplorasi agar perdagangan listrik dan kerja sama antara negara-negara ASEAN dapat membuka hambatan program dekarbonisasi berbiaya rendah di tingkat regional. Dengan melihat lebih jauh ke depan, FEO akan dikembangkan untuk memiliki cakupan global dan antarmuka yang mudah digunakan oleh seluruh kalangan pengguna yang akan membuat kemampuan pemodelan sistem yang mutakhir menjadi lebih mudah diakses daripada model-model lainnya.
Klik di sini untuk mengetahui prospek energi pada masa depan
Catatan kaki
[1] Indonesia kini memiliki 38 provinsi setelah perubahan administratif yang mulai berlaku pada akhir tahun 2022. Ketersediaan data sangat terbatas di empat provinsi tambahan tersebut, sehingga FEO masih menganggap Indonesia terdiri dari 34 provinsi. Perbedaan ini tidak memengaruhi temuan analisis.
[2] Profitabilitas pembangkit dihitung dengan cara mengurangi biaya pembangkitan marjinal jangka panjang (long-run marginal cost of generation/LRC) dari harga tarif pembangkit saat ini per unit listrik yang dibangkitkan, yang biasanya ditetapkan dalam perjanjian jual beli listrik (power purchase agreement/PPA). Lihat perangkat alat data terbuka untuk Transisi Aset Batu Bara (Coal Asset Transition/CAT) milik TransitionZero untuk rincian lebih lanjut mengenai bagaimana angka-angka ini dihitung. Untuk informasi lebih lanjut mengenai asumsi yang disertakan dalam setiap skenario, silakan lihat analis slidedeck yang menyertainya
[3] Sejak tahun 2030, pembangunan PLTU dibatasi dalam model FEO dan emisi akan menurun di seluruh skenario Nol Bersih 2060 dan Penghentian Dini Penggunaan Batu Bara. Pada kenyataannya, sangat tidak mungkin bank-bank akan mendanai pembangunan kapasitas PLTU Batu Bara di Indonesia setelah tahun 2028, terutama jika mereka berpartisipasi dalam putaran penggalangan dana JETP yang membeli seluruh 21,7 GW PPA aset yang berkinerja buruk pada lima tahun sebelumnya. Faktanya, proyek-proyek ekspansi batu bara sudah mengalami hambatan terkait pendanaan. Contoh terbarunya adalah rencana ekspansi pembangkit listrik Indramayu sebesar 2 GW di Jawa Barat, yang tampaknya telah dibatalkan setelah Jepang memutuskan untuk menghentikan pembiayaan proyek-proyek batu bara di Indonesia karena adanya risiko reputasi.
[4] Biaya penyimpanan energi baterai turun dari ~$350/kWh pada tahun 2020 menjadi ~$150/kWh pada tahun 2050, per proyeksi NREL